Langsung ke konten utama

Review Iron-Blooded Orphans: Bukan sekedar robot adu jotos

 


Saya baru saja menyelesaikan tontonan 2 season Anime "Mobile Suit Gundam: Iron-Blooded Orphans" di Netflix. Anime yang rilis pada tahun 2015 ini menceritakan tentang Mikazuki, seorang tentara bayaran dari perusahaan bernama CGS: Chryse Guard Security dan Orga sahabat dan boss dari Mikazuki.

Saya tahu kalau series Gundam itu tidak hanya sekedar robot-robot besar (mecha) yang saling bertarung. tapi lebih dalam dari itu, cerita tentang politiknya kental sekali. dan di series Iron Blooded Orphan ini tema politiknya sangat terlihat dan menjadi tema utama.

Diawali dengan penghianatan pejabat-pejabat CGS, Orga memutuskan untuk mengubah nama CGS menjadi Tekkadan "Iron Flower Brigade" setelah berhasil selamat dari serangan Gjallarhorn (perusahaan militer terbesar di timeline ini) karena Mikazuki memiloti Gundam Frame bernama Barbatos.

Mikazuki dan Orga berumur tidak lebih dari 20 tahun tapi dalam usia semuda itu, perjalanan hidup mereka dipenuhi dengan darah dan mayat. Mikazuki tak segan menembak kepala orang yang menghianati Orga atau Tekkadan.

Karakter yang kuat tidak hanya dimiliki oleh karakter Mikazuki dan Orga saja, tapi Biscuit, Akihiro, Shino dll sangat lovable dan membuat penonton tak ingin kerasnya jalan cerita merenggut mereka. 

Tapi sebagai persiapan, sediakan tisu yang banyak karena cerita tentang perbudakan (human debris), pengkhianatan, politik, dan revolusi di Iron Blooded Orphan tidak akan selalu berjalan lancar dan akan merenggut korban. Catatan saja, penulis Iron Blooded Orphan itu sama dengan penulis cerita Anohana: The Flower We Saw That Day. Jadi ya... siap-siap saja.

Secara keseluruhan, 2 Season sangatlah cukup. Ceritanya solid dan tidak bertele-tele. Saya tidak menyesal menonton anime ini sama sekali. Sedih, senang, menang, kalah, jatuh, bangkit. Kamu akan seperti naik Roller Coaster dan berharap setiap anggota Tekkadan selamat dari setiap bahaya yang mereka hadapi.

Raise your flag!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

fi·nal·i·ty

Everything will end, not only my life but also this Earth, this galaxy, and perhaps even this universe. Everything will become a dark and silent void. The path towards that inevitable end is still distant, yet eerily close. Once my life is over, I will be oblivious to anything else, reduced to a lifeless body destined to decompose and vanish, leaving no trace behind. I often find myself wondering why I exist in the first place. I understand the 'how' of my existence but remain oblivious to the 'why.' Perhaps I am not significant enough to warrant a purpose. I am merely a product of countless random chances, fortunate enough to possess the capacity for thought. If I had never existed, nothing would have changed, and the world would be no different. That's the extent of my insignificance. Fear has always gripped me—fear of eternal nothingness, fear of silence. Even if I were granted a chance to have a purpose, I question whether I would possess the strength to pursue

acceptance aka ac·cept·ance

  today I finally reach the age of 30. ten years ago, my naive and underdeveloped brain thought that I am gonna achieve greatness, that I am the main character, the chosen one. what a memory that is. I know that me. right now is just an NPC or extras or whatever somebody with no insignificance is called. I live a mediocre life and now I am not even sure if I still have ambition anymore. I wake up every day knowing that my day is gonna be mundane. and I didn't know when was the last time I felt excited. TLDR. Me and my life are boring. I am just a programmer with the bare minimum skill. I am gloomy and cowardly, hate working hard, and even though I know I should fight. in the end, I am just running away. and the sad part, I am okay with that. sigh. even I understand that my life is not *that* miserable. but my head keeps telling me that I am not worth it. I keep kicking grass in frustration. why am I like this. I wish I can accept this, I wish I have acceptance in my life. but my he

Parkit Australia bernama Tofu

Setelah beberapa bulan dunia terserang wabah COVID-19, saya yang emang biasanya ngga keluar rumah jadi makin ngga keluar rumah sama sekali. Lama-lama bosan juga dan sepertinya perlu kegiatan baru.  Saya dari kecil cuma pernah memelihara kucing liar sekali. Itupun waktu kelas 3 atau 4 SD. Jadi ketika dunia sedang membutuhkan umat manusia untuk mengerem aktifitasnya, saya ingin mengurus atau memelihara sesuatu. Saya selalu suka burung, apalagi yang jinak dan bisa dipegang-pegang. Karena jujur, saya malah ngga suka kalau hewan peliharaan itu hanya bisa dikandang terus. Ngga bisa beraktifitas bersama saya sebagai pemiliknya. Parkit Autralia adalah jenis burung yang memiliki sifat sosial yang tinggi dan bisa bonding dengan manusia. Maka, datanglah Tofu di rumah ini. Setelah 4 bulanan hidup bersama Tofu, saya sama sekali tidak menyesal. Dia burung yang pintar dan lucu. Mengurusnya pun gampang, cukup ganti makanan dan minuman setiap hari, kasih cemilan dan mandi dalam beberapa hari sekali.  S