Langsung ke konten utama

Yang saya sesali

Bapak pernah sakit parah. Dan kerabat juga saudara dekat selalu merekomendasikan pengobatan alternatif dan doa. Membuat bapak yakin dan keras kepala untuk selalu berobat ke tokoh agama dan menginap di tempat terapi. Padahal ya ternyata biayanya malah sama mahalnya dengan rumah sakit. Di tempat pengobatan alternatif terakhir, harus mengeluarkan sekitar 5 jutaan. Sembuh juga nggak.

Apa yang bapak dapatkan dari rekomendasi kerabat-kerabatnya hanyalah harapan palsu. Bapak bilang kalau si X berobat sebulan disitu sembuh, si Y seminggu berobat disana sembuh. Tapi ya itu semua hanyalah katanya. Saya kesal.

Sampai pada akhirnya saya paksa bapak untuk berobat ke Rumah Sakit Sentosa Bandung. Di sana, bapak di X-Ray dan CT Scan, terlihat kalau akhirnya ternyata tulang punggung bawah bapak remuk karena kecelakaan setahun sebelumnya. Dan hanya bisa dioperasi untuk penyembuhannya. 

Saya bukannya mau merendahkan atau tidak percaya pengobatan alternatif. Tapi saya memang tidak percaya kalau jamu atau doa bisa menyembuhkan atau setidaknya memperbaiki tulang yang remuk. Analoginya kalau ingin memperbaiki ban kempes bukan dengan ditempeli koyo atau mendapatkan doa dari pemuka agama. Salah penanganan.

Yang saya sesali adalah, kerabat-kerabat yang merekomendasikan pengobatan alternatif dan menyuruh bapak untuk datang ke pemuka agama untuk berobat. Bapak jadi terlambat setahunan lebih untuk akhirnya mendapatkan pengobatan yang benar. Kalau memang peduli dengan kerabat atau teman atau saudara, berhentilah menyarankan pengobatan alternatif atau pemuka agama untuk sakit parah seseorang. Dunia medis sudah jauh lebih pasti dan orang-orangnya bertanggung jawab, membutuhkan tahunan untuk sekedar menjadi dokter. Kalau terus-terusan percaya alternatif, kamu malah membuat pesakit menjadi jauh lebih sakit.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

fi·nal·i·ty

Everything will end, not only my life but also this Earth, this galaxy, and perhaps even this universe. Everything will become a dark and silent void. The path towards that inevitable end is still distant, yet eerily close. Once my life is over, I will be oblivious to anything else, reduced to a lifeless body destined to decompose and vanish, leaving no trace behind. I often find myself wondering why I exist in the first place. I understand the 'how' of my existence but remain oblivious to the 'why.' Perhaps I am not significant enough to warrant a purpose. I am merely a product of countless random chances, fortunate enough to possess the capacity for thought. If I had never existed, nothing would have changed, and the world would be no different. That's the extent of my insignificance. Fear has always gripped me—fear of eternal nothingness, fear of silence. Even if I were granted a chance to have a purpose, I question whether I would possess the strength to pursue

acceptance aka ac·cept·ance

  today I finally reach the age of 30. ten years ago, my naive and underdeveloped brain thought that I am gonna achieve greatness, that I am the main character, the chosen one. what a memory that is. I know that me. right now is just an NPC or extras or whatever somebody with no insignificance is called. I live a mediocre life and now I am not even sure if I still have ambition anymore. I wake up every day knowing that my day is gonna be mundane. and I didn't know when was the last time I felt excited. TLDR. Me and my life are boring. I am just a programmer with the bare minimum skill. I am gloomy and cowardly, hate working hard, and even though I know I should fight. in the end, I am just running away. and the sad part, I am okay with that. sigh. even I understand that my life is not *that* miserable. but my head keeps telling me that I am not worth it. I keep kicking grass in frustration. why am I like this. I wish I can accept this, I wish I have acceptance in my life. but my he

Parkit Australia bernama Tofu

Setelah beberapa bulan dunia terserang wabah COVID-19, saya yang emang biasanya ngga keluar rumah jadi makin ngga keluar rumah sama sekali. Lama-lama bosan juga dan sepertinya perlu kegiatan baru.  Saya dari kecil cuma pernah memelihara kucing liar sekali. Itupun waktu kelas 3 atau 4 SD. Jadi ketika dunia sedang membutuhkan umat manusia untuk mengerem aktifitasnya, saya ingin mengurus atau memelihara sesuatu. Saya selalu suka burung, apalagi yang jinak dan bisa dipegang-pegang. Karena jujur, saya malah ngga suka kalau hewan peliharaan itu hanya bisa dikandang terus. Ngga bisa beraktifitas bersama saya sebagai pemiliknya. Parkit Autralia adalah jenis burung yang memiliki sifat sosial yang tinggi dan bisa bonding dengan manusia. Maka, datanglah Tofu di rumah ini. Setelah 4 bulanan hidup bersama Tofu, saya sama sekali tidak menyesal. Dia burung yang pintar dan lucu. Mengurusnya pun gampang, cukup ganti makanan dan minuman setiap hari, kasih cemilan dan mandi dalam beberapa hari sekali.  S